Sabtu, 18 November 2017

Awal Kisah Cintaku dengan Alam

Tidak ada komentar :
Tahun 2002 adalah tahun dimana ketertarikan pada kegiatan di alam bebas dimulai. Awal mula ketertarikan ini atas tanpa sengaja melihat sekelompok orang laki-laki dan perempuan melakukan kegiatan wall climbing di samping jalan raya. Mereka semua adalah anggota PA Badar yang ada di Desa Pulodarat.

Di tahun yang sama, saya mendaftarkan diri sebagai angota komunitas tersebut bersama 11 orang lainnya.

Bagi saya, melihat orang berkeringat karena melakukan kegiatan yang positif adalah sexy, keren.

1 minggu pertama setelah pendaftaran, kami mendapatkan pendidikan dasar yang di dalamnya terdapat materi, diantaranya survival, tali-temali beserta pengenalan alat-alat lainnya yang menunjang, materi navdar, dll.

Setelah pendidikan materi dasar selesai, maka tiba saatnya kita semua wajib mengikuti pendidikan lapangan untuk mempraktekkan teori yang didapat selama latihan dasar (gojlokan).

Sebelum kita mengikuti gojlokan yang rencananya selama 3 hari, kami semua disuruh mengisi surat pernyataan bermaterai sebagai syarat wajib. Surat  bermaterai tersebut intinya berisi jika terjadi sesuatu pada kita (peserta) entah cidera, bahkan meninggal, maka keluarga tidak bisa menuntut apapun atas apa yang terjadi.

Waktu yang telah ditentukan untuk gojlokanpun tiba. Barang dan bekal semua peserta diperiksa oleh panitia (senior) untuk cek kelengkapannya, dan disweeping jikalau ada peserta yang bawa bekal yang berlebih.

Saya ingat betul saat itu kita hanya diberi bekal 3 mie instan, dan air untuk   bekal selama 3 hari. Untuk perkapnya, kita diwajibkan untuk membawa golok, jas hujan (untuk bivak tempat tidur), garam, pisau, jarum dan benang, peluit, alat masak sprirtus, korek api, sepatu lapangan, topi lapangan, jaket. Setidaknya itulah yang kuingat.

Lokasi gojlokan berada di Pegunungan Muria dengan titik awal pendakian dari Dawe (kalau enggak salah) dan titik akhir gojlokan adalah turun menggunakan tali carmantel melalui Air Terjun Montel.

Hari pertama gojlokan sangatlah berat karena itu adalah pertama kali saya naik gunung, dan kondisi gojlokan pula. Salah dikit bentak, salah dikit push-up dan set-up. Dalam hati berkata "setan tenan panitiane!"

Karena cukup berat, di hari pertama gojlokan 10 dari total 12 peserta pilih mengundurkan diri. Saya dan teman saya Sri namanya, tetap bertahan.

Malam pertama tidak tidur di kasur, beralaskan rumput dan beratapkan bivak yang kami buat sendiri sungguh pengalaman yang wow bagiku saat itu. Ditambah terkadang pake dibentak pula. Rasanya emosi, pingin nangis, pingin pulang tentu saja. Setan tenan!

Malam pertama tidur di bivak, kami menghabiskan 3 mie instan tersebut sekaligus karena kami berdua berniat mengundurkan diri dari gojlokan dan berencana kabur pagi hari.

Pagi harinya (hari ke 2) kami tidak jadi mengundurkan diri karena sudah terlalu jauh berjalan, enggak tau jalan pulang dan takut ada apa-apa di jalan karena kami sudah membuat surat pernyataan bermaterai tersebut.

Akhirnya kami sepakat bertahan dan melanjutkan kegiatan. Pasrah dibentak, disuruh sit-up, push-up, dll. Ditambah bekal sudah dihabiskan sekaligus di malam pertama. Setaaan!!!

Hari kedua kami mau tak mau harus bisa bertahan hidup dengan cara survival seperti materi yang diberikan di awal saat pendidikan dasar. Yang saya ingat, hari ke 2 sampai hari ke 3 kita lebih banyak minum dari pada makan karena takut keracunan meskipun secara teori kita tahu ciri-ciri tanaman dan tumbuhan yang bisa dimakan itu yang seperti apa. Juga secara teori yang diberikan manusia bisa bertahan 7 hari dengan hanya minum tanpa makan, dan hanya bisa bertahan 3 hari dengan makanan tanpa air. Kita sepakat cari aman dengan lebih banyak minum daripada mengambil resiko keracunan memakan tumbuhan dan tanaman.

Malampun tiba. Kami langsung cari tempat, buat bivak, minum, langsung tidur.

Hari ke 3 adalah praktek navdar dan perjalanan ke titik akhir penjemputan. Tidak banyak yang bisa diceritakan hari ke 3 ini selain bentakan, sit-up, push-up. Saya gagal mempraktekkan teori navdar karena begitu banyaknya garis yang ada di peta, penuh dengan maksud dan arti, kecil dan rumit, lapar pula. Setaaaaaaann!

Yes, tiba di titik akhir perjalanan dan penjemputan (di atas air terjun montel). Turun, acara selesai, pulang, mandi, tidur di kasur.

Sebelum turun montel pake tali, ada pertanyaan yang diberikan senior saat itu yang sungguh menggetarkan jiwa dan pikiran saat itu "seandainya tali putus, atau kamu jatuh dan mati, apakah pesan2 terakhir untuk keluargamu yang bisa kami sampaikan?". Pertanyaan yang susah untuk dijawab olehku yang masik anak-anak waktu itu. Saya hanya teringat orang tua, dan saya menjawab "sampaikan maaf kepada kedua orang tuaku".

Bismillaah...
Turun pake tali, dan selamat. Alhamdulilaah...

Mendadak senior yang tadinya seperti setan, banyak mrengutnya, kini berubah menjadi orang baik. Setan tenan, kok ngono ora kawit wingi-wingi. Setaaaaan!

Setelah selesai semua rangkaian kegiatan, kita diwajibkan untuk "ditraining", "berbakti" pada organisasi selama 1 tahun untuk bisa dilantik menjadi anggota.

Sejak itu, saya menjadi ketagihan naik gunung. Gunung Ungran adalah gunung ke-dua bagiku, dan Gunung Merbabu Jalur Kopeng adalah gunung di atas 3000 mdpl pertamaku.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar